pada talangan sungai yang belum selesai kuhitung,
kau datang dengan isak tarianmu sambil membawa debu sembilan kantung.
dari embun, bara, dan air mata, debu itu kau kumpul setelah menyaksikan hancurnya sebuah kampung, yang membuat cekung pipimu berubah menjadi relung yang murung.
satu episode kembali memaksa bibirmu bingung dan matamu mendung.
arloji dan kalender mengepung kepalamu hingga kau terkurung.
tanya yang sama kembali kau ucap: kenapa kita selalu mau dijadikan kacung??
Syarif Wadja Bae
Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar