Kamis, 19 November 2009

sajak rindu

serupa satu lembar halaman buku aku datang padamu
dan mungkin belum sebait kita menulisnya
segala kisah keluar bersama hembus nafas kita
saat gelap malam mendekap buih ombak kecil dan sepoi di jembatan itu

kau sapa dengan senyum dibalik aksara-mu
kala embun dan rumput dibungkus puisi dendang pagi
tentang sua yang kita inginkan dalam sehari

pada sungai kecil kita mengalir
perlahan bertemu dan melewati talangannya

kala kau rebah di dadaku
dari matamu mengalir kejujuran
setiap penggalan episode yang sirna
dengan cara paling santun kuhapus
setiap tetes sadarmu
dan kau tak habis pikir:
semuanya tumpah dihadapanku
saat matahari marah pada kota
saat hari ke empat ditempat tidurku

pada setiap jeda kutuntun gelisahmu
dalam ruang sederhana dengan desau makna baca

dua bibir menyatu sebelum kemuning senja
dalam panggung kecil
kita lalui detik yang mendetak
dengan tubuh kita yang menjelma sajak

disetiap akhir denting piano
disetiap akhir lagu
kita selalu menginginkan itu

cinta itu
serupa
persetubuhan
embun dan rumput
sebelum siang yang garang

gadis kecil
berpayung pilu
berdirilah selalu
dengan jernihnya kalbu


Syarif Wadja Bae
17 Nov 2009 dini hari

Rabu, 11 November 2009

Awas Ibu Marah

senandung langit mengibas senyum sinis
hati yang dilahap keakuan akal.
seketika ludahmu ingin menampar lakumu
yang merobek ujung malam saat ayam jantan
menunggu giliran kumandangkan pagi yang jernih
yang siap kau kotori lagi.

sampah hari ini sedang menyimpan dendam padamu.
gergaji-gergaji mencatat disetiap kelok
tentang semua ucap yang kau ingkar.
binatang-binatang tanah sepakat untuk puasa,
dan bau mulut mereka membakar hidung
karena tak sabar mengunyah bangkaimu sedikit demi sedikit.

kau gotong nama Ibumu untuk berbohong
pada semua yang ada dalam keadaan.
seolah apa saja adalah kehendakmu.
sekalipun tak pernah terbesit karma dibenakmu.
ketahuilah, sang waktu sedang menanti saat
untuk merobohkan akumu.
dan kau akan merasakan lukamu yang terbungkus sepi.
kau wajar dicaci-maki para Pahlawan.

satu hal lagi;
awas Ibu marah


Syarif Wadja Bae
10 November 2009

Minggu, 01 November 2009

Puisi malam yang tak kelam, mungkin...

Malam memang tak sepi.
Seperti taman yg mengajak semua bunga untuk tumbuh bersama ditengah teror kota.
Gelapnya Malam adalah inspirasi menuju terang dengan sejuta senyum sebagai jawaban pelaksanaan kata-kata.

Malam tak pernah salah.
Mungkin kita yg bingung karena ditabrak segala macam kebutuhan
yg sebenarnya secara esensi kita tidak butuh.
dan lalu kita merasa dikepung dalam gaung
hingga merasa terpojok murung disudut relung.

Sesungguhnya malam membuat kita paham tentang kesederhanaan.
Malam mengajarkan kejujuran.
Seperti kejujuran yg terungkap dibibir pantai bersama cahaya buih air laut.
Seperti melintas diatas laut, ditemani puisi bulan yg teduh.
seperti saat tubuh kita menjadi puisi
dan keadaan menjadi narasi yang meleburkan semua emosi,
seakan semua menjadi seksi
dan kita semakin lupa dengan doktrin doktrin yg sesak dengan basa basi.
Mungkin sesederhana saat kita tersenyum mengingat lagu indah yg kita nyanyikan.
Terimakasih malam


Syarif Wadja Bae
31 Oktober 2009. dini hari

Lingkaran Sederhana

*Terimakasihku untuk Chairil Anwar dan W.S Rendra


Berangkat kesuasana tak bersuara,
tapi tidak menjadi suatu keniscayaan berlatar keakuan.
Menyelam jauh kedalam emosi yang menjelma menjadi teratai.

Dalam semak-semak rasa,
dia hidup, tumbuh, dan bersuara walau kadang tak menggema.
Meliuk-liuk dalam bunga mata.
Jangan biarkan langkahmu lupa dan tak paham tentang jejak,
karena itu adalah guru.

Aku mengajakmu masuk kedalam lingkaran sederhana,
seperti sapa embun dan sumringah melati.
Tujuannya bukan kemenangan,
tapi mengerti tentang arti,
karena hidup cuma sekali.

Syarif Wadja Bae
pagi 14 Okt 2009