Sabtu, 20 Maret 2010

Ini Rambu Zaman

aku bungkus kalimatmu
lalu aku timbang,
bobotnya bertambah,
tapi setelah aku telaah,
kata demi kata,
ternyata
tidak kutemukan pelangi disana.
aku hanya mendapatkan kuncup bunga.
harumnya jelas terasa
dan membuatmu
ingin segera memetiknya,
namun kau harus sabar,
karena belum waktunya.
biarkan dia seperti padi
yang menjadi cerminmu.

kubaca lagi tulisanmu.
kemudian aku simpulkan,
sebenarnya jalan kita sama
hanya saja cara kita beda
dalam memahami rambu-rambu
di sepanjang jalan itu.
tapi tak apa,
yang penting kita paham
dan bisa melewatinya
hingga bersua
pada tujuan yang sama.

o'iya hati-hati,
di jalan itu
banyak berserakan
bungkusan kalimat,
terlebih kalimat bisu
dan dahaga,
bahkan keadaannya
hampir menyerupai
cerita tentang zaman Ibrahim


SWB
Maret 2010

Perahu Pekat Malam

Jangan sampai sayapmu lunglai
Walau badai menggiring duri dengan banyak tangkai
Bacalah wajah senja yang mampir
bersama setiap tetes sejuk di ujung harimu
Dan akan terpampang peta saat kelopakmu terbuka
Untuk memulai perjalanan dalam pekat malam

Biarkan mereka bicara tentang nilai palsu
Dengan congkak melebihi kehendak Tuhan
Yang selalu hadir di setiap detak jantung serta
Tidak peduli pada keringat ibu

Kerap kali ada benalu yang menari
Saat bunga-bunga di langit menjadi kelabu
Menyaksikan manusia-manusia dimakan roda-roda
Dan fajar tak lagi mampu pancarkan puisi pelangi
Di separuh tubuh laut yang mulai keruh akibat goresan luka
Yang menganga sebelum sampai ke muara

Jangan kau diam melihat laju waktu
Dan terlena di atas angan-angannya
Lihatlah dengan mata yang jernih di sepanjang perjalan pekat malam karena ada banyak corak makna disana

Ketika hati, rasa, cinta, dan semua yang berkecamuk
di dalam dada ini berdebar bagai gendang
yang ditabuh dengan kencang,
maka kita harus terus maju merengkuh dayung
menuju terang walau yang kita tumpangi
cuma perahu sederhana



Syarif Wadja Bae
Februari 2010
Surabaya

Lembayung Sore

Lembayung senja sore tadi
dibungkus mendung dan gerimis.
Pulau-pulau menangis meratapi pancaroba tak berujung
seperti diselimuti nuansa mistis.
Pengembara kehilangan jejak
dan bingung menghitung persimpangan
karena kosong yang tragis.

Lagu Ibu dinyanyikan
dengan kelopak hati yang rusak
bersama hidungmu yang terus membengkak
saat gejolak rindu akan cita-cita pudar ditelan ombak.
kau paksa semua semakin terkoyak
dalam gelombang kepalsuan yang membuat muak.

aku akui, Sungguh dahsyat pengakuan iblis !
ketimbang kau yang mengaku malaikat ksatria
tapi jiwamu bencong.
kau takut pada badai dan teriakan generasi.
kau lebih pantas jadi keong
yang merangkak dikawasan peternakan gajah



SWB
Januari 2010

Abu-abu

Pagi turun lagi disini
saat Kelelawar mulai ngantuk.
Corak hujan sulit terbaca
dalam bulan tak jelas suara dan cerita.

Ada Manusia menjadi truk gandeng berbentuk reptil
menabrak Pejalan kaki,
menggilas dengan bengis dan sadis
tanpa peduli isak tangis.

Pengembara yang mencatat raut senja
terdiam bisu didepan asbak
karena senyum senja juga tak terbaca
dan abu-abu serupa isi asbak.

Bunyi lonceng semakin keras
tanda mereka yang mati dalam hidup
menjelma tikus rakus
dihadapan Tuhan
yang selalu dijadikan batu pelarian.

Dan orang-orang suci membuka jalan
menuju jawaban teka-teki
kepada Generasi yang tak mengerti basa-basi
tentang Negeri yang hatinya terbakar api.

Disini, di Pulau ini,
ekarang dibuka pendaftaran Relawan
yang punya hati untuk menghapus
air mata Ibu yang suci
dan membuatnya tersenyum kembali



SWB
Surabaya, pertengahan Januari 2010

Harus Dikupas

Jiwa mana yang rela melihat cintanya terkoyak,
sedang talangan sungai belum selesai dihitung.

Diantara kepingan perih yang mampir
pada lembaran malam-malam kita,
ada yang harus diusap segera.
bercak becek yang menempel dicermin kita.

Jangan terlalu lama tenggelam dalam isak kehilangan.
jangan sampai mimpi kita digulung waktu.
Kalbu yang dibungkus mendung akan dihapus cahaya bulan,
karena lelaki itu telah mengumandangkan Alif dikuping hati matahari.

Karena kenyataan harus dikabarkan
maka harus kita kupas semua isyarat yang tersirat,
agar padang hijau kita semakin sedikit durinya.
Ikhlaskan kepergiannya karena kuncinya ada ditelapak kaki Ibu.



Syarif Wadja Bae
awal Januari 2010

Abdi

Gelombang kali ini
mengingatkan kita tentang abdi.

Gelombang kali ini
bukan pertanyaan yang harus kita jawab
dengan membusungkan dada.

Gelombang kali ini adalah hakikat padi,
ruang cermin, dan aksara mata batin.


Ini gelombang menampar kita
dengan bunga cinta.
Mencubit kita dengan rasa jijik paling indah
yang selama ini kita lupa..

Harusnya kita paham tentang kehadiran kita
disetiap Lekuk aliran gelombang kali ini.
Gelombang tak pernah putus.
gelombang kali ini bagai senyum pelangi
yang menempel pada dinding gelap yang kita buat.
ini gelombang

Gelombang ini mengantarkan kita
pada tikungan dengan teks yang besar.



SWB
Desember 09

Keruh

bagai sua hujan dalam selokan
mereka tak takut karma sejarah
tentang bohong mereka pada kahanan

tinggal riwayat yang disiram comberan
berselimut daki dalam rupa dasi
dengan kemasan basi

Tuhan redupkan lampu
dalam kalbu dan hidup mereka
hanya naif dan latah
dalam alinea munafik yang panjang
padahal Tuhan tak pernah pergi
dari nadi
seolah tak ada cermin
sementara
disana ada penyair
yang menjadi Dewa
penyair yang tak pernah
ke pasar dan terminal

saban hari di kampus-kampus
semakin banyak Mahasiswa
yang belajar menjadi buaya
tanpa peduli pada air mata ibu
yang mereka injak berkali-kali

seperti binatang jalang
yang riang menjahit orasi
dalam ramai
dengan keserakahan

apa ini kado untuk generasi ?
kado kalatida dan kalabendu
yang dikencingi pupa


SWB
November 2009